STORI HITS – Kampung adat Padadita di Kabupaten Sumba Timur, Provinisi Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah pemandangan penuh kehidupan. Anak-anak berlari riang, bermain di bawah sinar matahari yang menyengat.
Para perempuan duduk di bawah naungan atap rumah adat, berbagi cerita sambil tangan-tangan mereka bergerak cekatan di atas alat tenun.
Bunyi ritmis tak-tuk-tak-tuk bergema, sebuah harmoni yang lahir dari kerja keras dan kesabaran mereka.
Proses menenun di Padadita bukanlah sekadar pekerjaan biasa. Ini adalah seni dan ritual yang diwariskan lintas generasi.
Satu persatu benang pakan ditarik masuk ke dalam benang lungsi, menciptakan pola-pola indah yang memerlukan ketelitian tingkat tinggi.
Setiap helai benang adalah wujud dedikasi; satu kain panjang dapat memakan waktu sebulan hingga bertahun-tahun untuk diselesaikan.
Hasil akhirnya adalah kain tenun Sumba yang sarat makna, penuh cerita, dan kaya akan filosofi lokal.
Tenun Sumba: Simbol Kehidupan dari Lahir hingga Mati
Di Sumba, kain tenun tidak hanya dianggap sebagai barang seni, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan.
Dalam kepercayaan adat Marapu, kain tenun memiliki peran penting dalam setiap upacara adat.
Saat kelahiran, pernikahan, hingga kematian, kain tenun hadir sebagai saksi dan simbol.
Dalam prosesi kematian, misalnya, kain tenun digunakan untuk membungkus jenazah, sebagai penghormatan terakhir dalam perjalanan menuju alam leluhur.
Keberadaan kain tenun ini tak sekadar estetika, tetapi juga mencerminkan status sosial. Semakin rumit motifnya, semakin tinggi pula status pembuat atau pemiliknya.